a. Imej dan Materi
Kalau kita kaji kembali SBI yang sesungguhnya kurikulum yang dipakai memang mengadopsi kurikulum dari Cambridge atau International Baccalaureate (IB) dengan sistem pengajaran menggunakan Bahasa Inggiris dan Bahasa Indonesia (Bilingual). Bicara soal penggunaan Bahasa Inggris dalam proses belajar mengajar akan berpengaruh terhadap kecepatan daya tangkap siswa dalam mencerna pelajaran, bahkan faktanya sekalipun sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang benar dalam proses belajar mengajar namun masih susah untuk dicerna oleh siswa. Mari kita bayangkan bila menggunakan Bahasa Inggiris, apa jadinya? Sehingga menurut hemat penulis tidak salah saudara Hendrizal menyebutkan kalau penggunaan bilingual dalam SBI merupakan sesuatu pemaksaan mental. Penggunaan bilingual ini juga tidak hanya memberatkan siswa tapi juga guru. Karena tidak semua guru yang paham dan mahir menggunakan Bahasa Inggiris.
Tidak hanya sampai disitu saja, program SBI juga identik dengan penggunaan fasilitas belajar yang serba mewah, seperti menggunakan infocus, internet, bahkan setiap siswa yang duduk di kelas SBI diwajibkan mempunyai LapTtop sebagai alat pendukung dalam proses belajar. Sudah jelas untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus menggunakan uang yang begitu cukup banyak dan tidak bisa dipungkiri yang mempunyai kemampuan untuk itu hanyalah siswa-siswa yang berasa dari keluarga kelas menengah keatas. Lalu bagaimana dengan siswa yang berasal dari keluarga kelas bawah, yang nota bene mempunyai kemampuan secara IQ untuk mengikuti kelas SBI? Apakah mereka hanya akan menjadi penonton saja? Bagaimana mereka akan membeli alat secanggih Lap Top sedangkan untuk membeli kebutuhan primer sekolah saja mereka kesusahan? Tentu ini harus menjadi renungan buat kita bersama, terutama pihak pemerintah selaku pengambil kebijakan.
Dari aspek-aspek yang ditonjolkan dalam program SBI mulai dari penggunaan bilingual hingga fasilitas yang begitu mewah dalam proses belajar mengajar penulis berkesimpulan bahwa program SBI ini hanya sebagai isapan image dan materi belaka. Dengan menampilkan aspek penggunaan bahasa inggiris dalam penyampaian pelajaran, serta penggunaan lap top, infocus, dll dalam menunjang proses belajar tak lain hanyalah ingin memperlihatkan betapa SBI adalah sekolah hebat dan canggih. Namun sesungguhnya kita lupa dibalik itu semua telah menimbulkan dualisme dalam dunia pendidikan hari ini.
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak. Sekolah merupakan milik setiap anak. Mereka berhak memperoleh pendidikan yang baik dan bermutu, tak hanya bagi yang ber-uang saja. SBI justru harus lebih mendekatkan anak-anak dengan budaya asalnya, bukan sebaliknya SBI menjauhkan anak-anak dari budaya bangsa. Misalnya, penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar di SBI. Ini justru akan membuat anak-anak tidak bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
SBI, seharusnya tidak hanya mempertajam pikiran dan keilmuan siswa, tetapi juga harus menanamkan nilai humanisme dan pluralisme dalam diri mereka. Anak-anak terjauhkan dari kaum tertindas sehingga mereka tidak belajar bertoleransi. Sisi humanisme mereka tidak diperhalus, hanya mementingkan pendidikan eksakta. Seharusnya pendidikan membuat anak-anak lebih kritis dalam berpikir. Pendidikan juga seharusnya tidak membeda-bedakan antara kaya dan miskin. Tidak adanya pendidikan kritis menyebabkan pendidikan saat ini lebih mementingkan hasil daripada proses. Ketidak-kritisan ini juga dapat memunculkan benih-benih ra-dikalisme.
Sepertinya ada hegemoni sistem pendidikan. Saat ini pendidikan cenderung menje-jalkan ilmu kepada siswa. Mereka menjadi anak-anak yang dilatih menggarap soal-soal. Mereka tidak diminta berinteraksi dengan dunia luar, malah justru dimasukkan ke dalam kotak (sekolah).
Maszanet.blogspot.com
No comments:
Post a Comment