B. Konsep Akhlak Mulia
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata al-khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat (Hamzah Ya‟qub, 1988: 11). Sinonim dari kata akhlak ini adalah etika dan moral. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran (Rahmat Djatnika, 1996: 27). Dalam khazanah perbendaharaan bahasa Indonesia kata yang setara maknanya dengan akhlak adalah moral dan etika. Kata-kata ini sering disejajarkan dengan budi pekerti, tata susila, tata krama, atau sopan santun (Faisal Ismail, 1988: 178). Pada dasarnya secara konseptual kata etika dan moral mempunyai pengertian serupa, yakni sama-sama membicarakan perbuatan dan perilaku manusia ditinjau dari sudut pandang nilai baik dan buruk. Akan tetapi dalam aplikasinya etika lebih bersifat teoritis filosofis sebagai acuan untuk mengkaji sistem nilai, sedang moral bersifat praktis sebagai tolok ukur untuk menilai perbuatan yang dilakukan oleh seseorang (Muka Sa‟id, 1986: 23-24).
Sejak tahun 1900-an mulai dikenalkan terminologi Pendidikan Karakter. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya, terutama ketika ia menulis buku 4
yang berjudul The Return of Character Education. Melalui buku tersebut, ia menyadarkan dunia Barat akan pentingnya Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter, menurut Ryan dan Bohlin, mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan Karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu Pendidikan Karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik. Pendidikan Karakter ini membawa misi yang sama dengan Pendidikan Akhlak atau Pendidikan Moral. Secara umum akhlak dibagi menjadi dua, yaitu akhlak mulia dan akhlak tercela (buruk). Akhlak mulia adalah yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sedang akhlak tercela adalah akhlak yang harus dijauhi dan ditinggalkan. Menurut Islam ruang lingkup akhlak dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak terhadap Tuhan (Allah Swt.) dan akhlak terhadap makhluk (selain Allah Swt.). Akhlak terhadap makhluk masih dirinci lagi menjadi beberapa macam, seperti akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap makhluk hidup selain manusia (seperti tumbuhan dan binatang), serta akhlak terhadap benda mati. Dalam kenyataan hidup memang ditemukan orang yang berakhlak mulia dan juga sebaliknya. Ini sesuai dengan fitrah dan hakikat sifat manusia yang bisa baik dan bisa buruk. Baik atau buruk bukan sesuatu yang mutlak diciptakan, melainkan manusia dapat memilih beberapa kemungkinan baik atau buruk. Namun walaupun manusia sudah terjatuh dalam keburukan, ia bisa bangkit pada kebaikan kembali dan bisa bertaubat dengan menghitung-hitung apa yang telah dipetik dari perbuatannya (Ainain, 1985: 104). Untuk menjadi manusia yang baik (berakhlak mulia), manusia berkewajiban menjaga dirinya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin, tenang, selalu menambah ilmu pengetahuan, membina disiplin diri, dan lain sebagainya. Setiap orang juga harus menerapkan akhlak mulia dalam berbagai segi kehidupan. Akhlak mulia harus ditanamkan dan dipraktekkan sejak dari kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah atau pendidikan, dan lingkungan kerja, serta dengan lingkungan alam pada umumnya. 5
Untuk merealisasikan akhlak mulia dalam kehidupan setiap orang, maka pembudayaan akhlak mulia menjadi suatu hal yang niscaya. Di sekolah atau lembaga pendidikan, upaya ini dilakukan melalui pemberian mata pelajaran pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, atau pendidikan karakter. Akhir-akhir ini di Indonesia misi ini diemban oleh dua mata pelajaran pokok, yakni Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Kedua mata pelajaran ini tampaknya belum dianggap mampu mengantarkan peserta didik memiliki akhlak mulia seperti yang diharapkan, sehingga sejak 2003 melalui Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 dan dipertegas dengan dikeluarkannya PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menetapkan, setiap kelompok mata pelajaran dilaksanakan secara holistik sehingga pembelajaran masing-masing kelompok mata pelajaran memengaruhi pemahaman dan/atau penghayatan peserta didik (PP 19 2005 pasal 6 ayat 4). Pada pasal 7 ayat (1) ditegaskan bahwa Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada SD/MI/SDLB/Paket A, SMP/MTs/SMPLB/ Paket B, SMA/MA/ SMALB/ Paket C, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan agama, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olah raga, dan kesehatan. Akhlak mulia di lingkungan sekolah atau pendidikan misalnya, harus tercermin dalam praktik kehidupan sehari-hari semua warga sekolah yang meliputi karyawan, guru, para siswa, dan kepala sekolah. Semua komponen sekolah, harus menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia, seperti berlaku jujur, amanah, tanggungjwab, rasa hormat, peduli, santun, lapang dada, toleran, tekun dan sabar. Dengan menanamkan dan mempraktikkan sikap dan perilaku tersebut, maka pada waktunya kelak akan terbangun kultur akhlak mulia di lingkungan sekolah.
Maszanet.blogspot.com
MEMBANGUN KULTUR AKHLAK MULIA DI KALANGAN SISWA SEKOLAH DASAR DAN MENENGAH DI INDONESIA
Oleh: Ajat Sudrajat
No comments:
Post a Comment