Dalam menelaah suatu perbuatan yang mengandung unsur kriminal dapat dipidana atau tidak dipidana, maka selalu muncul rumus : criminal act ditambah criminal responsibilitry sama dengan punishment atau criminal sanction. Sanksi pidana dalam kajian teoritis dikategorikan sebagai ultimum remedium,
sebagai senjata pamungkas terakhir yang diberikan setelah sanksi lain
seperti sanksi perdata maupun sanksi administrasi dijatuhkan dan tidak
efektif. Essensi ini terkait dengan problematika pertanggungjawaban
pidana ( criminal responsibility ) yang berkaitan dengan upaya menempatkan nilai sifat melawan hukum pada posisi yang sangat strategis.
Berkembangnya suatu ajaran atau aliran, tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarah
yang mempengaruhinya yang mau tidak mau diakui eksistensinya. Demikian
halnya dengan ajaran sifat melawan hukum. Secara teoritis sifat melawan
hukum adalah penilaian yang sangat objektif terhadap perbuatan criminal
yang dilakukan dan tidak saja berorientasi pada hubungan sinergis
faktor akal dan faktor kehendak tetapi juga menilai aspek kesalahan
dalam perilaku orang tersebut. Oleh karena sifat melawan hokum merupakan
persoalan yang bersinggungan dengan aspek psikologis, memang sebaiknya
pemanfaatn ilmu di luar hokum pidana menjadi penting terutama psikologi.
Hal ini untuk menentukan kadar sifat melawan hokum yang menyusuri
secara akademik aspek kesalahan yang dilakukan seseorang.
Munculnya penafsiran dalam pandangan sifat melawan hukum memberikan perbedaan yang berujung pada tiga hal yaitu
mencocoki UU, mencocoki Hukum Tidak Tertulis atau gabungan keduanya.
Sinergis dengan hal itu adalah timbulnya ajaran sifat melawan hukum
formal, sifat melawan hukum matrerial yang kemudian terbagi dalam fungsi
positif dan negative. Ajaran ini sesungguhnya yang kita lihat mencoba
untuk memetakan problematikan sifat dalam diri manusia yang melakukan
kesalahan. Jika kita menghubungan dengan asas asas yang dikembangkan
dalam hukum pidana hal ini sangat berkaitan erat dengan asas tiada
pidana tanpa kesalahan, yang menjadi tonggak bagi hukum tidak tertulis
dalam menilai kesalahan.
Berkaitan
dengan hal ini ada baiknya kita mencoba sinergitas antara maraknya
kejahatan di dunia dengan perimbangan komposisi perundang-undangan yang
mengatur sampai pada produk orang yang di penjara. Mengapa hal ini
menjadi penting karena penentuan seseorang bersalah atau tidak menjadi
ukuran yang esensial dalam menilai sifat melawan hukum yang semuanya
terangkum dalam persoalan pertanggungjawaban pidana.
Hal
yang terpenting dari hal ini adalah, seluruh dunia setiap saat
berkembang modus kejahatan baru yang tidak terekam formulasinya dalam
kitab tertulis, maka disadari secara penuh hal ini sebagai bagian
konsekuensi dari perkembangan ipetks dalam era globalisasi yang
menghantarkan jenis tindak pidana baru. Itulah sebabnya dikatakan hukum
berfungsi mengabdi pada realita kehidupan. Perjalanan memfourmulasikan
tindak pidana menjadi penting dengan memasukkan unsur kesalahan seperti
yang termaktub dalam ajaran sufat melawan hukum ini.
Upaya ini terlihat dalam penentuan tentang sinergitas antara
ajaran dan impkementasi teori yang mau tidak mau menjadi hal yang urgen
untuk dikaitkan. Penulis mengkaji bahwa analis tiga hal di atas berkembang
jika kemudian mengimplemnetasikannya pada kasus yang terjadi. Sering
saya sampaikan bahwa dimensi upaya menilai kesalahan dalam hukum pidana
dikaitkan sungguh sungguh dengan alur kronologis kasus yang terjadi.
Inilah yang kemudian muncul sikap analisis yang paling objektif dalam
menilai sifat melawan hukum.
Merujuk
pada persoalan ini adalah kita dapat melihatnya bagaimana seorang hakim
yang akan memutuskan perkara yang didalamnya ada unsur kajian sifat
melawan hukum. Kemudian muncul pertanyaan, Indonesia menganut ajaran
sifat melawan hukum mana ? Apa yang kita jadikan pedoman dalam melakukan
penilaian itu ?
Mencermati
hal ini tentunya banyak hal yang perlu dijadikan indikator yaitu :
mengkaji kasus yang diputuskan hakim yang menguraikan penerapan sifat
melawan hukum, faktor kesalahan dengan sandaran penilaian dari hukum
tidak tertulis, dan upaya merapatkannya dengan UU tertulis yang berlaku
agar mengikat dalam amar putusan bagi para pihak.Jika kita mencermati
secra fokus pada semua kasus yang menjadi diputuskan oleh hakim dan
menjadi yurisprudensi sebagai besar penuh konflik kontroversial.
Sebutlah perjalanan kasus yang diputuskan oleh Hakim Bismar Siregar yang
terkenal dengan barangnya si Bismar, Kasus Perubahan Status Jati Diri,
dan masih banyak lagi. Putusan hakim yang menjadi
yurisprudensi seringkali berimbas tidak saja persoalan hak dan kewajiban
hukum para pihak tetapi juga persoalan rasa keadilan yang memicu
konflik vertikal dan konflik horizontal. Tuntutan akan nilai keadilan
menjadi penting, oleh karena nilai kesalahan sesungguhnya adalah nilai
yang dipancarkan oleh hati nurani masyarakat dan tidak dapat dikesankan
pura-pura. Karena masyrakat sendiri pijakan dalam menilai berdasarkan
kultur persepsi yang dibangun dengan sifat hilistik komprehensif.
Kajian
literature banyak menyebutkan bahwa kecenderungan hakim di Indonesia
mengacu pada sifat melawan hukum yang material, artinya perbuatan
tersebut tidak saja bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan
dengan hukum yang tidak tertulis.Hal ini menandkan hakim-hakimdi
Indonesia telah memahami bahwa hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat menjadi sumber hukum yang hidup, yang sangat berpengaruh
sekali terhadap penilaian proses mememeriksa sampai memutuskan perkara.
Persoalan hukum tidak tertulis seringkali digambarkan suatu hukum yang
hidup / living law yang menjadi tonggak madzhab sejarah hukum-nya von Savigny
untuk menilai bahwa hukum yang bekerja secara operasional sehari hari
itulah yang kita lihat yang membentuk sejarah hukum, karena didalamnya
ada aspek nilai keadilan secara substantiv seperti yang dipahami oleh Gustav Radbruch, salah satu tokoh penting dalam aliran filsafat hukum tentang nilai keadilan.
Bentuk
dari persoalan ini adalah sifat melawan hukum dapat dilihat dari
wujudnya yaitu produk hukum yurisprudensi yang menjadi sumber hukum
tertulis. Perjalanan yurisprudensi dalam tatanan hukum di Indonesia
mempunyai arti penting karena hal ini dapat membukakan cakrawala
penajaman analisis dalam ilmu hukum dan membangkitkan semangat untuk
mengali hukum yang hidup di masyarakat. Upaya ini penting karena
berkaitan dengan aspek sejauh mana tata kelola peradilan dalam
memfungsikan yusrisprudensi sebagai bagian esensial jika telaah kasus
tidak ada sandaran secara hukum positif.
Oleh
sebab itu, sifat melawan hukum mempunyai senergi dengan aspek aspek
sebagai berikut : nilai kesalahan, hukum tidak tertulis,
yurispuruidensi, nilai keadilan substantif yang mengukur ada tidaknya
sifat melawan hukum dalam suatu perbuatan pidana. Seringkali kita
terjebak pada persoalan sifat melawan hukum ini pada aspek yang
permukaannya saja, yaitu menilai riil tampaknya suatu perbuatan dengan
kacamata benar dan salah, padahal sesungguhnya sifat melawan hukum
adalah persoalan penilaian yang sungguh objektif dengan dimensi di atas,
dan jauh lebih banyak dipengaruhi oleh persoalan nilai hukum tidak
tertulis, yang dibangun dengan pondasi yang harus kuat. Saya
menyebutnya persoalan nilai keagamaan. Apa-apa yang sesungguhnya
menurut Kitab Suci Al Qur’an dan Hadits Nabi yang merupakan perbuatan
tercela dan tidak dikehendaki oleh masyarakat yang tercermin dalam
rumusan rumusan tertulis ataupun tidak tertulis.Kenyataan ini menjadi
jelas sejak agama dan hukum terjadi teori resepsi. Hal ini menjadi titik
tekan perubahan cara memandang living law dalam masyarakat,
yang mau tidak mau menjadi penting peran agama untuk memberikan
kontribusi baik itu secara langsung maupun tidak langsung pada penilaian
ajaran sifat melawan hukum.
Ditulis di UIN Maliki Malang, 20 Desember 2010.
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1877:memperluas-cakrawala-ajaran&catid=36:kolom-pr2
Teori Rekonstruksi by: Ame Suzako
No comments:
Post a Comment