Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Runtuhnya karakter bangsa Indonesia
yang mengemuka belakangan ini seperti terlihat pada memudarnya sikap
toleran dan menghormati nilai-nilai pluralisme sehingga kekerasan
begitu mudah terjadi serta sikap tidak setia pada negara dalam bentuk
munculnya gerakan untuk mendirikan negara berlandaskan agama seperti
NII ditengarai ada sesuatu yang tidak beres (there is something wrong)
dalam praktik penyelenggaraan pendidikan kita, mulai jenjang
pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Berbagai bentuk anomali
sosial dan anarkisme seperti tawuran, perusakan sarana publik,
penipuan, pelecehan seksual hingga pembunuhan dan berbagai bentuk
penyimpangan moral lainnya menjadi bukti konkret memudarnya
nilai-nilai luhur yang selama ini melekat pada bangsa ini.
Anehnya, terhadap berbagai bentuk
penyimpangan seperti itu sebagian masyarakat menyikapinya biasa-biasa
saja (Kompas, 17/6/2011). Sanki sosial tak berlaku lagi dan sebagian
masyarakat membiarkan, bahkan apatis ketika penyimpangan yang
sistematis di berbagai lini kehidupan hukum, pemerintahan, maupun
pendidikan itu sendiri. Lebih tragis lagi, beberapa waktu terakhir ini
ada gejala sangat aneh bahwa petugas keamanan seperti polisi justru
menjadi sasaran kekerasan, bahkan pembunuhan, para petugas hukum malah
yang paling banyak melanggar hukum, hakim yang tugasnya menjadi benteng
penegak keadilan justru mempertontonkan praktik ketidakadilan, kampus
sebagai tempat para intelektual yang seharusnya menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan yang tinggi dan menjauhi anarkisme juga tak luput dari aksi
anarkis seperti perusakan laboratorium, ruang kuliah, perkantoran,
intelektual yang mestinya mengedepankan argumentasi dengan nalar logis
dalam menyelesaikan persoalan seolah melupakan etika akademik yang
menjadi bagian kehidupannya. Semua menjadi tontonan gratis yang
memilukan.
Bahwa pendidikan dianggap sebagai pihak
yang paling bertanggungjawab terhadap gejala tersebut memang tidak
salah dan wajar. Sebab, dibanding dengan institusi-institusi sosial
yang lain, pendidikan merupakan yang paling sarat makna. Pendidikan
merupakan pintu masuk untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia
berbudi pekerti luhur, berbudaya, berilmu pengetahuan, berketrampilan,
berperadaban, dan berkarakter. Karena itu, secara logis mudah dipahami
jika di antara tujuan tersebut ada yang tidak tercapai tentu ada yang
sesuatu yang tidak beres dalam penyelengaraan pendidikan secara
keseluruhan, bisa landasan filosofis, praktik, pendidik, lingkungan,
dan orientasi masa depan peserta didiknya serta perubahan kondisi
eksternal yang gagal ditangkap oleh penyelenggara dan pemilik otoritas
formal kebijakan pendidikan.
Persoalan pendidikan hakikatnya adalah
persoalan masa depan, generasi penerus, dan peradaban sebuah bangsa.
Tidak ada satu pun bangsa yang tidak ingin punah karena memiliki
generasi penerus yang tidak baik. Karena itu, untuk kelangsungan
eksistensi sebuah bangsa tumpuannya pada pendidikan. Sejarah telah
membuktikan bahwa bangsa yang berperadaban maju hanyalah mereka yang
serius mengelola pendidikan. Bagi mereka, pendidikan di atas segalanya
dan dihayati sebagai hajat semua anggota masyarakat. Karena merupakan
hajat bersama, maka semua bersinergi membangun pendidikan yang baik
sehingga melahirkan lulusan yang bekualitas.
Begitu penting misi yang diembannya,
pendidikan tidak bisa dijalankan seenaknya, apalagi hanya untuk
mengejar kepentingan sesaat, seperti sekadar lulus Ujian Nasional
dengan nilai tinggi, masuk perguruan tinggi, menang olimpiade ini dan
itu, meraih gelar, bertaraf internasional dan sebagainya. Di atas semua
itu, pendidikan adalah proses pemanusiaan secara utuh, meliputi aspek
jiwa, intelektual, emosi, hingga spiritualnya. Lebih dari itu,
pendidikan juga merupakan praktik untuk menjadikan peserta didik bagian
dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga lahir sikap cinta tanah
air. Ringkasnya, pendidikan adalah proyek kemanusiaan terus menerus
dan tidak pernah berakhir sepanjang bangsa itu ada.
Sebagai seorang pendidik, saya sendiri
merasakan betul betapa peserta didik kita saat ini terjebak dalam
nilai-nilai pragmatisme. Sekadar ilustrasi betapa saya sangat terkejut
ketika seorang teman dosen menyodorkan dokumen kepada saya tentang
hasil survei yang dilakukannya di akhir semester sambil melakukan
evaluasi perjalanan perkuliahan menanyakan tentang sosok dosen yang
diidolakan di mata mahasiswa. Hasil survei sangat mengejutkan karena di
luar dugaannya. Ternyata di mata mahasiswa sosok dosen ideal adalah
yang tidak begitu ketat alias santai-santai saja, tidak perlu tepat
waktu mengawali dan mengakhiri perkuliahan, rileks, tidak banyak tugas,
dan nilai murah. Hasil survei itu sungguh mengagetkan saya, walau
bisa diduga sebelumnya. Saya merenung mengapa peserta didik kita
menjadi semacam itu. Jauh berbeda dengan masa-masa ketika saya masih
kuliah dulu. Pertanyaan berikutnya jika demikian kondisinya bagaimana
kita menyiapkan generasi penerus yang cerdas dan kompetetif karena
menghadapi persaingan global yang begitu ketat yang tidak saja
memerlukan kecakapan dan ilmu yang memadai, tetapi juga karakter yang
kokoh.
Mencermati kondisi di atas, beberapa
kebijakan pendidikan yang selama ini dilakukan memang patut dicermati
kembali. Pertama, menyangkut merosotnya karakter bangsa sehingga
menimbulkan anomali dan anarkisme dikaitkan dengan dihapuskannya
pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan
Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekwensi
ditinggalkannya nilai-nilai luhur yang selama ini melekat pada bangsa
ini, seperti toleransi beragama, gotong royong, dan musyawarah.
Padahal, nilai-nilai itu sangat dibutuhkan sebagai fondasi bangsa.
Akibat kebijakan tersebut, kini para pendidik mengeluh karena sulitnya
menanamkan nilai-nilai tersebut dan dianggap sesuatu yang basi. Seorang
kolega yang kebetulan mengajar Pancasila mengeluh karena menasihati
siswa dianggap kuno dan tidak populer. Guru yang suka memberi nasihat
tentang nilai-nilai luhur dianggap guru ‘tempo doeloe’ dan dianggap bukan lagi jamannya.
Perubahan kebijakan pengajaran
Pancasila menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdampak. Buktinya,
penanaman nilai-nilai ternyata tidak bisa diperoleh dari pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan, Sebab, ternyata pelajaran tersebut hanya
hafalan dan sekadar menambah pengetahuan. Perubahan pendidikan
Pancasila menjadi pendidikan Kerwarganegaraan sangat mereduksi
muatan-muatan utama Pancasila yang sarat nilai. Sementara itu,
pendidikan Kewarganegaraan lebih mengenai hakikat negara dan
bentuk-bentuk kenegaraan, sistem hukum dan peradilan nasional, hak asasi
manusia, pemberantasan korupsi, kedudukan warga negara. Mengenai
Pancasila hanya disinggung sedikit, Itu pun sudah di semester akhir.
Karena itu menjadi wajar jika nilai-nilai moral di kalangan peserta
didik kita luntur. Dengan demikian, sangat tidak fair jika pihak sekolah
atau guru disalahkan dalam hal ini. Diakui oleh para guru,
sebagaikmana dilapokan Kompas (6/5/2011) bahwa sedikit sekali peluang
penanaman nilai dan pembentukan moral anak didik saat ini.
Kebijakan pendidikan sangat
dipengaruhi oleh pandangan hidup masyarakat dan sistem politik
pemerintahannya. Perubahan pendidikan Pancasila menjadi pendidikan
Kewarganegaraan juga tidak lepas dari perubahan pandangn hidup dan
pergeseran sistem politik di Indonesia. Karena itu, seiring dengan
perubahan pandangan hidup dan perubahan pemerintahan, pendidikan
Pancasilka juga tidak luput dari perubahan tersebut. Berdasarkan
cermatan Kompas (6/5/2011) kebijakan mengenai pendidikan Pancasila
mengalami dinamika pasang surut. Diawali tahun 1965, Presiden Soekarno
menetapkan kebijakan Sistem Pendidikan Nasional di mana pelajaran
Pancasila wajib diajarkan sejak tingkat pra sekolah hingga perguruan
tinggi. Kebijakan tersebut ditegaskan lagi oleh Presiden Soeharto pada
tahun 1967 dengan mengatakan bahwa dasar sistem pendidikan nasional
adalah Pancasila. Tahun 1976 Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila (PMP)
mulai diajarkan untuk pertama kali di sekolah, menggantikan pelajaran civics
(Kewarganegaraan) yang sudah diajarkan sebelumnya. Tahun 1979 Presiden
Soeharto membentuk sebuah lembaga yang secara khusus mengkaji
nilai-nilai Pancasila dan merumuskan program nasional P4 (Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Kendati P4 dinilai sebagai proyek
hegemoni pemeritah terhadap masyarakat, harus diakui program tersebut
berhasil dengan baik. Nilai-nilai Pancasila berhasil merasuk dalam jiwa
seluruh warga masyarakat. Tahun 1983, berangkat dari filsafat bahwa
bangsa yang besar adalah mereka yang mau mengetahui dan mempelajari
sejarah bangsanya, maka pemerintah memandang penting pelajaran
sejarah. Karena itu, sejak tahun itu mata Pendidikan Sejarah mulai
diajarkan di semua jenjang pendidikan. Tahun 1994, Mata Pelajaran
Pancasila dan Sejarah digabung menjadi Mata Pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Penggabungan tersebut terasa
janggal. Sebab, dengan digabung muatan masing-masing menjadi sangat
berkurang. Karena itu, langkah penggabungan tersebut menurut hemat saya
titik awal memudarnya nilai-nilai moral di kalangan anak didik kita
yang dampaknya kita rasakan saat ini. Para pengambil kebijakan
pendidikan mungkin tidak pernah membayangkan dampak penggabungan
tersebut. Karena pendidikan adalah sebuah proses, maka dampaknya --
positif maupun negatif --- baru akan tampak beberapa tahun kemudian.
Seiring dengan tumbuhnya iklim
demokratis yang berkembang pasca-berakhirnya kekuasaan Orde Baru di
mana hak politik setiap warga negara dihargai, aspirasi dapat
disampaikan dengan bebas di tengah hiruk pikuk eforia politik dan
reformasi di semua bidang, maka tuntutan untuk mereformasi Pendidikan
Pancasila yang dianggap buah dari Orde Baru tak terelakkan. Hasilnya,
pada tahun 2001 Mata Pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
diganti menjadi Mata Pelajaran Kewarganegaraan, tanpa Pancasila. Sejak
tahun itu, Pancasila seolah hanya menjadi hiasan dinding di
kantor-kantor pemerintah. (bersambung).
http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/289-runtuhnya-karakter-bangsa-dan-urgensi-pendidikan-pancasila-1.html Teori Rekonstruksi by: Ame Suzako
No comments:
Post a Comment